Detik-detik
jelang Hijrah, kondisi umat Islam sangat memprihatinkan. Segala bentuk
perlakuan kejam dan keji kaum kafir terhadap umat Islam mencapai titik
puncaknya. Meskipun demikian, Rasulullah SAW dan para Shahabat RA memutuskan
tetap bertahan di Makkah. Mengapa demikian? Ternyata Rasulullah SAW menunggu
izin dari Allah SWT! Sungguh suatu sikap yang patut diteladani oleh umat Islam
saat ini. Ketika situasi kehidupan sedemikian buruk, Rasulullah SAW lebih
mengutamakan pendekatan keimanan dibandingkan pendekatan lainnya. Jika ditarik
pelajaran untuk umat Islam masa kini, maka buruknya situasi kehidupan yang dialami
umat Islam –
dari sisi sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain – seharusnya
disikapi oleh umat Islam dengan mengedepankan pendekatan keimanan. Dalam bahasa
al-Qur’an, ada ayat yang populer: Surat at-Talaq ayat 2 yang artinya
Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
?
?
?
Kesuksesan Hijrah sarat dengan
pengaturan [manajemen] tingkat tinggi. Sebelum Rasulullah SAW berhijrah, beliau
sudah memerintahkan para Shahabat agar berhijrah terlebih dahulu sedikit demi
sedikit. Pada puncaknya, Rasulullah SAW berhijrah bersama Abu Bakar al-Shiddiq
yang menyediakan dua unta yang sebelumnya dititipkan kepada Abdullah bin
Uraiqiz. ‘Ali bin Abi Thalib diplot sebagai ‘aktor kecil’ yang bertugas untuk
mengelabui kaum kafir yang hendak membunuh Nabi SAW; ‘Amir bin Fuhaira diberi
kepercayaan sebagai pemandu perjalanan ke Madinah melalui jalur alternatif,
mengingat jalur utama ke Madinah sudah dikuasai oleh kaum kafir; Asma’ binti
Abi Bakar tidak kenal lelah dalam menyiapkan segala perbekalan dan konsumsi
Nabi SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA. Dengan demikian, pengaturan dimulai dari
perencanaan yang matang sehingga mencapai keberhasilan Hijrah yang gemilang.
Apabila ditarik ke zaman sekarang, kerap kali didapati umat Islam yang
menjalani kehidupannya sesuai dengan prinsip ‘air yang mengalir’, tanpa ada
pengaturan [manajemen] terhadap kegiatan sehari-hari. Di antara efeknya adalah
muncul generasi ‘last minute man’, yaitu generasi umat Islam yang senang
melakukan sesuatu secara spontan, mendadak dan di detik-detik akhir. Contoh sederhana
yang tampak pada kehidupan pelajar adalah hanya mau belajar ketika menjelang
ujian; banyak mahasiswa yang bangga ketika mengerjakan tugas perkuliahan dalam
kurun waktu yang sangat singkat; dan lain-lain.
Menurut penulis, seruan mengatur
kegiatan sehari-hari tercermin pada Surat al-Naba’: 9-11, yang artinya:
Dan Kami jadikan tidurmu untuk
istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk
mencari penghidupan,
Ayat di atas secara tersirat
mengajarkan agar umat Islam mengatur aktivitasnya siang dan malam, bahkan waktu
tidur. Melalui pengaturan yang demikian ini, ada harapan besar kehidupan umat
Islam akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, umat Islam
menjalani kehidupannya dengan bekerja keras dan cerdas.
?
?
?
Kembali pada ‘aktor-aktor’ Hijrah di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mereka terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat, mulai dari anak-anak [Ali bin Abi Thalib], wanita [Asma’ binti Abi
Bakar], pemuda [Abdullah bin Uraiqiz] dan orang dewasa/tua [Nabi SAW dan Abu
Bakar RA]; bahkan ada juga yang non-muslim, yaitu ‘Amir bin Fuhaira. Hal ini
menunjukkan bahwa siapapun dapat memberikan kontribusi positif bagi Islam,
sebagaimana yang dilansir dalam surat an-Nahl ayat 97 yang artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Orang
non-muslim pun patut diberi tempat dalam kancah pergaulan umat Islam, karena
umat Islam menjunjung tinggi ukhuwwah basyariyyah [persaudaraan sesama
manusia] yang ditegaskan dalam syrat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Ironisnya, pola kerjasama yang
mengagumkan pada peristiwa Hijrah di atas saat ini terlihat redup. Kaum dewasa
tidak mempercayai kaum muda, apalagi anak-anak, demikian juga sebaliknya; masih
ada kaum laki-laki yang enggan memberi kesempatan kepada kaum wanita agar
berkiprah dalam pengembangan Islam; lebih jauh lagi, umat Islam sudah antipati
untuk bekerjasama dengan non-muslim. Oleh karena itu, sudah saatnya ‘kepercayaan
[trust]’ kembali diberikan kepada anak-anak, pemuda, orang dewasa/tua,
laki-laki, wanita, untuk kepentingan pengembangan Islam yang lebih baik lagi. Wujud
kongkretnya adalah memberikan kesempatan luas kepada mereka untuk
berpartisipasi dalam mengembangkan Islam sesuai dengan perannya masing-masing.
?
?
?
Akhirnya, peristiwa Hijrah memberikan makna kepada generasi umat Islam
masa kini untuk mengembangkan sisi spiritual [keimanan], sisi intelektual
[manajemen hidup] dan sosial [ukhuwwah basyariyah yang dilandasi sikap
saling percaya]. Melalui pengembangan tiga sisi tersebut, ada peluang besar
masa depan Islam dan umat Islam senantiasa menampilkan kualitas yang tinggi,
baik pada tataran ajaran Islam maupun pada tataran kehidupan umat Islam. Peluang
ini terinspirasi dari sebuah ayat yang mengagumkan surat an-nisa' ayat 100 yang artinya berikut ini:
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di
sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
0 komentar:
Posting Komentar