Oleh: Ust. A. Qomarudin, S.Pd.I
Sebentar lagi penanggalan tahun 2012 masehi
akan habis dan akan beralih ke tahun 2013 masehi. Hal ini tidak berbeda dengan
tahun baru hijriyah
1434 yang beberapa hari lalu oleh umat Islam telah diperingati. Akan tetapi, antara tahun masehi dan hijriyah tentu memiliki landasan dalam
memperingatinya yang berbeda. Bagi orang-orang muslim akan muncul dibenak mereka
tentang bagaimana sebaiknya dalam menanggapi tahun baru masehi yang tentunya tidak
sama dengan tahun baru Islam (hijriyah), baik terkait dalam pijakan sejarahnya
maupun sesuatu hal apa yang sebaiknya dilakukan. Sedangkan apabila memperhatikan
budaya masyarakat Indonesia, tahun baru masehi disambut dengan budaya hura-hura
yang condong sudah ke barat-baratan dan sudah jauh dari ajaran Islam. Hal
tersebut tentu berbeda jauh dengan yang dilakukan umat Islam dalam
memperingati
pergantian tahun baru hijriyah, yang mereka sambut dengan do’a bersama atau
pengajian agama.
Berhubungan dengan tahun baru masehi, bolehlah kita merayakan atau
bergembira secara biasa-biasa aja dan jangan berlebihan. Karena tahun baru
masehi sendiri tidak ada landasannya, baik dari agama Islam atau agama Kristen.
Bahkan dalam penanggalan Nasional juga hanya libur saja dan tidak ada makna
peringatan yang lain. Ini berbeda dengan misalnya 17 agustus, yang memiliki
tujuan khusus untuk memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia. Oleh karena
itu, dalam tahun baru masehi hanya ada perubahan tahun saja, dan ini dapat kita
sikapi dengan muhasabah atau introspeksi (koreksi diri). Agar
hari-hari yang akan dilalui itu terus lebih baik atau ada progres (kemajuan)
dari hari ke hari, dan itu adalah kriteria orang yang beruntung. Berbeda dengan
orang yang hari-harinya sama saja adalah orang yang merugi, dan lebih parah
lagi bagi orang yang kesehariannya mengalami penurunan adalah orang yang
hancur.
Dibandingkan dengan tahun baru hijriyah, tahun baru masehi memiliki perbedaan
yang mendasar. Di antaranya adalah pada tahun baru hijrah terdapat peringatan
hijrah Nabi dari kota Makkah ke Yatsrib (Madinah), dan bulan yang pertama pada
penaggalan hijriyah ini adalah termasuk dalam salah satu bulan yang dimuliakan
dengan beberapa keistimewaan dan peristiwa yang telah terjadi di dalamnya. Sedangkan
pada tahun baru masehi itu tidak ada unsur sejarah yang mendasarinya. Namun ada
sebagian yang mengatakan bahwa itu adalah hari kelahiran Isa, akan tetapi itu
pun masih ada perdebatan tentang kebenarannya.
Sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dan terjadi saat ini adalah perayaan
tahun baru masehi yang dibesar-besarkan yang seolah-olah orang akan merasa
tertinggal apabila tidak merayakannya secara rame-rame. Padahal kalaupun
rame-rame juga hanya nongkrong-nongkrong yang tidak jelas dan tidak ada
manfaatnya. Maka dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah membiasakan
melakukan sesuatu yang perlu dilakukan dan meninggalkan sesuatu yang tidak
perlu, serta jangan mudah ikut-ikutan sesuatu yang tidak ada landasannya yang
kuat.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad saw. dijelaskan sebagai berikut.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ
شَابُورَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِىُّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَيْوَئِيلَ
عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيهِ ». (رواه إبن ماجه)
“sebagian dari tanda kesempurnaan Islamnya seorang adalah meninggalkan
urusan yang tidak penting bagi dirinya”
Untuk memilih antara sesuatu urusan yang penting dan tidak penting, memerlukan
akal (pikiran) dan hati (perasaan). Kalau kedua-duanya tidak sehat, maka tidak
akan dapat melihat sesuatu mana yang perlu atau yang tidak perlu. Kalau pikiran
saja yang sehat dan perasaan atau nafsunya tidak sehat, maka pikirannya akan
dikendalikan oleh nafsunya. Sedangkan kalau hatinya saja yang sehat dan akalnya
tidak sehat, maka tidak akan cermat tetapi dapat terasa. Contoh seseorang diperintahkan
berzakat 2,5 % untuk saudaranya dan itu dapat membuat berkah terhadap sisa harta
yang dizakati, hal yang seperti ini sangat sulit dilakukan. Akan tetapi kalau hartanya
untuk dihambur-hamburkan, seseorang tidak merasa eman. Dengan demikian, seseorang
yang dapat memilah sesuatu urusan yang perlu dilakukan dan meninggalkan sesuatu
urusan yang tidak perlu adalah sebagai pertanda sehat hati dan akal pikirannya.
Kemudian boleh gak sih merayakan tahun baru? Boleh, akan tetapi
secukupnya saja atau setingkat muhasabah saja. Artinya sesuatu yang
sudah berjalan itu baik atau belum?, dan yang akan datang harus bagaimana?.
Akan tetapi kalau perayaannya itu berlebih-lebihan, maka itu sama dengan sudah
terjerumus pada budaya westernisasi (pembaratan budaya), seperti budaya
jingkrak-jingkrak, mengumbar nafsu, dan lainnya yang hanya akan melunturkan
kesehatan hati dan pikiran.
0 komentar:
Posting Komentar