Majlis Ta'lim & Dzikir

"Hidup Mulia dengan Ilmu dan Amal, Mati Syahid dengan Keridhaan Tuhan"

Selasa, 11 Juni 2013

Oleh: Ust. A. Qomarudin, S.Pd.I

Sebentar lagi penanggalan tahun 2012 masehi akan habis dan akan beralih ke tahun 2013 masehi. Hal ini tidak berbeda dengan tahun baru hijriyah 1434 yang beberapa hari lalu oleh umat Islam telah diperingati. Akan tetapi, antara tahun masehi dan hijriyah tentu memiliki landasan dalam memperingatinya yang berbeda. Bagi orang-orang muslim akan muncul dibenak mereka tentang bagaimana sebaiknya dalam menanggapi tahun baru masehi yang tentunya tidak sama dengan tahun baru Islam (hijriyah), baik terkait dalam pijakan sejarahnya maupun sesuatu hal apa yang sebaiknya dilakukan. Sedangkan apabila memperhatikan budaya masyarakat Indonesia, tahun baru masehi disambut dengan budaya hura-hura yang condong sudah ke barat-baratan dan sudah jauh dari ajaran Islam. Hal tersebut tentu berbeda jauh dengan yang dilakukan umat Islam dalam
memperingati pergantian tahun baru hijriyah, yang mereka sambut dengan do’a bersama atau pengajian agama.
Berhubungan dengan tahun baru masehi, bolehlah kita merayakan atau bergembira secara biasa-biasa aja dan jangan berlebihan. Karena tahun baru masehi sendiri tidak ada landasannya, baik dari agama Islam atau agama Kristen. Bahkan dalam penanggalan Nasional juga hanya libur saja dan tidak ada makna peringatan yang lain. Ini berbeda dengan misalnya 17 agustus, yang memiliki tujuan khusus untuk memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam tahun baru masehi hanya ada perubahan tahun saja, dan ini dapat kita sikapi dengan muhasabah atau introspeksi (koreksi diri). Agar hari-hari yang akan dilalui itu terus lebih baik atau ada progres (kemajuan) dari hari ke hari, dan itu adalah kriteria orang yang beruntung. Berbeda dengan orang yang hari-harinya sama saja adalah orang yang merugi, dan lebih parah lagi bagi orang yang kesehariannya mengalami penurunan adalah orang yang hancur.
Dibandingkan dengan tahun baru hijriyah, tahun baru masehi memiliki perbedaan yang mendasar. Di antaranya adalah pada tahun baru hijrah terdapat peringatan hijrah Nabi dari kota Makkah ke Yatsrib (Madinah), dan bulan yang pertama pada penaggalan hijriyah ini adalah termasuk dalam salah satu bulan yang dimuliakan dengan beberapa keistimewaan dan peristiwa yang telah terjadi di dalamnya. Sedangkan pada tahun baru masehi itu tidak ada unsur sejarah yang mendasarinya. Namun ada sebagian yang mengatakan bahwa itu adalah hari kelahiran Isa, akan tetapi itu pun masih ada perdebatan tentang kebenarannya.
Sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dan terjadi saat ini adalah perayaan tahun baru masehi yang dibesar-besarkan yang seolah-olah orang akan merasa tertinggal apabila tidak merayakannya secara rame-rame. Padahal kalaupun rame-rame juga hanya nongkrong-nongkrong yang tidak jelas dan tidak ada manfaatnya. Maka dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah membiasakan melakukan sesuatu yang perlu dilakukan dan meninggalkan sesuatu yang tidak perlu, serta jangan mudah ikut-ikutan sesuatu yang tidak ada landasannya yang kuat.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad saw. dijelaskan sebagai berikut.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِىُّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَيْوَئِيلَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ ». (رواه إبن ماجه)
“sebagian dari tanda kesempurnaan Islamnya seorang adalah meninggalkan urusan yang tidak penting bagi dirinya”
Untuk memilih antara sesuatu urusan yang penting dan tidak penting, memerlukan akal (pikiran) dan hati (perasaan). Kalau kedua-duanya tidak sehat, maka tidak akan dapat melihat sesuatu mana yang perlu atau yang tidak perlu. Kalau pikiran saja yang sehat dan perasaan atau nafsunya tidak sehat, maka pikirannya akan dikendalikan oleh nafsunya. Sedangkan kalau hatinya saja yang sehat dan akalnya tidak sehat, maka tidak akan cermat tetapi dapat terasa. Contoh seseorang diperintahkan berzakat 2,5 % untuk saudaranya dan itu dapat membuat berkah terhadap sisa harta yang dizakati, hal yang seperti ini sangat sulit dilakukan. Akan tetapi kalau hartanya untuk dihambur-hamburkan, seseorang tidak merasa eman. Dengan demikian, seseorang yang dapat memilah sesuatu urusan yang perlu dilakukan dan meninggalkan sesuatu urusan yang tidak perlu adalah sebagai pertanda sehat hati dan akal pikirannya.
Kemudian boleh gak sih merayakan tahun baru? Boleh, akan tetapi secukupnya saja atau setingkat muhasabah saja. Artinya sesuatu yang sudah berjalan itu baik atau belum?, dan yang akan datang harus bagaimana?. Akan tetapi kalau perayaannya itu berlebih-lebihan, maka itu sama dengan sudah terjerumus pada budaya westernisasi (pembaratan budaya), seperti budaya jingkrak-jingkrak, mengumbar nafsu, dan lainnya yang hanya akan melunturkan kesehatan hati dan pikiran.

0 komentar:

Posting Komentar